Diakui Pemerintah Republik Indonesia (RI) sampai saat ini belum mau bertindak tegas kepada Pemerintah Jepang terkait masalah hak dan keadilan bagi para ex Jugun IanFu (Budak Seks) yang telah menjadi korban kekejaman tentara jepang semasa perang dunia ke-II (1942-1945) di Indonesia. Oleh karena itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) Republik Indonesia berupaya menyelesaikan masalah tersebut, salah satunya melalui jalur mediasi,” Selain untuk meluruskan fakta sejarah tentang Jugun IanFu kepada masyarakat Indonesia, KomnasHam berupaya menjadikan jalur mediasi antara pemerintah Indonesia dan Jepang agar tercipta kesepakatan bersama terutama mengenai hak dan keadilan bagi para korban yang belum terselesaikan sampai saat ini,” ujar Ridho Saleh wakil dari KomnasHam dalam paparannya pada acara Seminar Diseminasi tentang “Memahami Kembali Sejarah Penjajahan Jepang 1942-1945 untuk Mengembalikan Fakta Persoalan Jugun IanFu Sebagai Korban Perang dan Kekerasan Terhadap Perempuan”, di Ruang Rapat Hotel Golden Flower, Jl. Asia Afrika Bandung, Selasa (26/10). Acara diskusi ini diikuti oleh sejumlah kalangan, diantaranya; Disdik Kota Bandung, Dinas Sosial Kota Bandung, LSM, Mahasiswa, Pelajar dan sejumlah undangan lainnya.
Sebelumnya, RF. Nurul Badriah dari Jaringan Advokasi Jugun IanFu Indonesia (JAJI) menuturkan perbudakan seks yang dilakukan militer Jepang kondisinya sangat memprihatinkan, Jepang berusaha memanfaatkan segala potensi bukan hanya untuk perlengkapan militer saja. Tapi, kebutuhan logisitik, tenaga manusia dan infrastrukturpun ikut dikerahkan dengan cara paksa termasuk kepada kaum perempuan Indonesia,” Sekitar 200 ribu eks Jugun Ianfu menurut catatan Asia’s Women Fund (AWF) yang berasal dari Filipina, Korea, Cina, Belanda, Rusia, Singapura, Malaysia, Vietnam, Myanmar dan Indonesia saat ini terus memperjuangkan hak-hak mereka termasuk di Indonesia sendiri melalui jalur advokasi Jugun IanFu Indonesia yaitu dengan cara menuntut pemerintah Jepang agar mau mengakui kesalahannya secara individual maupun Negara dan melalui sosialisasi dan kampanye agar mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah,” terang Nurul.
Selain itu, Budi Rajab, sebagai Staf Pengajar Jurusan Antropologi, Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad menyatakan bahwa kekerasan seksual yang digunakan militer dalam peperangan adalah tujuan untuk mengintimidasi atau menteror masyarakat sipil salah satunya dengan melakukan kekerasan seksual terhadap kaum perempuan,” Jepang dalam hal ini tidak dapat berdalih bahwa itu terjadi dalam peperangan di masa lalu dan sudah berlalu, bagaimanapun masyarakat sipil bukan bagian dari peperangan itu sendiri dan mereka sebenarnya harus dilindungi bukan menjadi sasaran kekejaman perang,” ujar Budi.
Sebelumnya, RF. Nurul Badriah dari Jaringan Advokasi Jugun IanFu Indonesia (JAJI) menuturkan perbudakan seks yang dilakukan militer Jepang kondisinya sangat memprihatinkan, Jepang berusaha memanfaatkan segala potensi bukan hanya untuk perlengkapan militer saja. Tapi, kebutuhan logisitik, tenaga manusia dan infrastrukturpun ikut dikerahkan dengan cara paksa termasuk kepada kaum perempuan Indonesia,” Sekitar 200 ribu eks Jugun Ianfu menurut catatan Asia’s Women Fund (AWF) yang berasal dari Filipina, Korea, Cina, Belanda, Rusia, Singapura, Malaysia, Vietnam, Myanmar dan Indonesia saat ini terus memperjuangkan hak-hak mereka termasuk di Indonesia sendiri melalui jalur advokasi Jugun IanFu Indonesia yaitu dengan cara menuntut pemerintah Jepang agar mau mengakui kesalahannya secara individual maupun Negara dan melalui sosialisasi dan kampanye agar mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah,” terang Nurul.
Selain itu, Budi Rajab, sebagai Staf Pengajar Jurusan Antropologi, Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad menyatakan bahwa kekerasan seksual yang digunakan militer dalam peperangan adalah tujuan untuk mengintimidasi atau menteror masyarakat sipil salah satunya dengan melakukan kekerasan seksual terhadap kaum perempuan,” Jepang dalam hal ini tidak dapat berdalih bahwa itu terjadi dalam peperangan di masa lalu dan sudah berlalu, bagaimanapun masyarakat sipil bukan bagian dari peperangan itu sendiri dan mereka sebenarnya harus dilindungi bukan menjadi sasaran kekejaman perang,” ujar Budi.