Dalam orasinya, Ganjar memaparkan, nilai adab dan karsa secara teoritis maupun praktek,” Adab dan karsa adalah sebuah prilaku. Namun, bisa saja adab dan karsa tersebut hanya sebatas pemikiran,kata-kata, atau sesuatu yang dianggap normatif belaka. Contohnya dalam kasus “kesundaan” nilai-nilai tersebut, bisa juga keberadaanya tidur, atau tidak diketahui lagi oleh masyarakat. Maka, apa yang dikemukakan oleh Prof. Herman Soewardi tentang adab dan karsa kajiannya harus berawal dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut,” ujar Ganjar.
Seperti halnya ungkapan Ajib Rosidi bahwa orang-orang Jepang dalam melaksanakan banyak hal jauh lebih “Islami” dibanding orang islamnya sendiri, padahal praktek islaminya orang jepang, sudah barang tentu tidak berasal dari sosialisasi dan internalisasi ajaran Islam begitu pula Amartya Sen yang menyatakan pertumbuhan yang terjadi di berbagai Negara yang notabene dihuni oleh masyarakat dengan mayoritas agama tertentu, bisa saja, prilaku ekonominya tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai agamanya, tetapi oleh nilai-nilai yang lain, seperti kapitalisme, materalisme,” ujar Ganjar.
Menurut Ganjar, dengan mengacu kepada asumsi yang ada, maka apa yang dikemukakan oleh Prof. Herman Soewardi tentang adab dan karsa kajiannya harus berawal dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya sendiri,” Pada tataran kehidupan politik, kita juga sering melihat ketidak”istiqomah”an, antara tujuan yang ingin dicapai dengan cara untuk mencapainya. Apa betul untuk kepentingan umat, ataukah hanya untuk kepentingan golongan/partai atau pribadi. Oleh karena itu, apabila adab berpolitik dilakukan secara tidak Islami, kita bisa mengatakan nilai-nilai yang dianutnya juga tidak Islami,”lanjut Ganjar.
Prof.Dr.HM.Herman Soewardi,Ir., yang dilahirkan di Pandeglang tahun 1935, dalam perjalanan kariri akademisnya merupakan orang yang selalu tekun dengan pekerjaannya untuk mengajar,menguji dan membimbing para mahasiswanya yang tersebar diberbagai universitas/institute di Indonesia dan karya-karya ilmiah yang pernah dirilis olehnya antara lain: “fase Muda” (Juni 1962-April 1983), “fase Pertengahan” (Mei 1983-April 1983),”fase Tua” (Agustus 1993-Desember 1996), dan “fase Pematangan” (sejak Januari 1997-2007).
Hadir dalam diskusi tersebut, Ketua ICMI Korwil Jabar, Sekretaris ICMI Korwil Jabar,dan sejumlah undangan lainnya.
Ganjar menambahkan, Kesejangan antara nilai-nilai yang dianut dengan adab dan karsa bisa juga dianggap sebagai kesenjangan antara keshalehan ritual dan keshalehan sosial. Oleh karena itu, apabila kita ingin memperbaiki adab dan karsa, haruslah dimulai dengan “nilai-nilai” yang akan menjadi pemandu adab-karsa tersebut,” Kita harus berpihak pada pelaksanaan untuk umat, yang terencana dan terorganisir dengan baik termasuk terhadap orang miskin, yang sudah barang tentu dapat meningkatkan kehidupan masyarakat dengan ciri-ciri madani. Maka, Islam sebagai agama yang dijamin kebenarannya olah Allah, tidak merusak citra agamanya oleh umatnya sendiri dan ICMI bisa jadi lokomotif untuk semua gerakan besar meningkatkan adab dan karsa yang berbasis nilai-nilai Islami,” lanjut Ganjar.
Seperti halnya ungkapan Ajib Rosidi bahwa orang-orang Jepang dalam melaksanakan banyak hal jauh lebih “Islami” dibanding orang islamnya sendiri, padahal praktek islaminya orang jepang, sudah barang tentu tidak berasal dari sosialisasi dan internalisasi ajaran Islam begitu pula Amartya Sen yang menyatakan pertumbuhan yang terjadi di berbagai Negara yang notabene dihuni oleh masyarakat dengan mayoritas agama tertentu, bisa saja, prilaku ekonominya tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai agamanya, tetapi oleh nilai-nilai yang lain, seperti kapitalisme, materalisme,” ujar Ganjar.
Menurut Ganjar, dengan mengacu kepada asumsi yang ada, maka apa yang dikemukakan oleh Prof. Herman Soewardi tentang adab dan karsa kajiannya harus berawal dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya sendiri,” Pada tataran kehidupan politik, kita juga sering melihat ketidak”istiqomah”an, antara tujuan yang ingin dicapai dengan cara untuk mencapainya. Apa betul untuk kepentingan umat, ataukah hanya untuk kepentingan golongan/partai atau pribadi. Oleh karena itu, apabila adab berpolitik dilakukan secara tidak Islami, kita bisa mengatakan nilai-nilai yang dianutnya juga tidak Islami,”lanjut Ganjar.
Prof.Dr.HM.Herman Soewardi,Ir., yang dilahirkan di Pandeglang tahun 1935, dalam perjalanan kariri akademisnya merupakan orang yang selalu tekun dengan pekerjaannya untuk mengajar,menguji dan membimbing para mahasiswanya yang tersebar diberbagai universitas/institute di Indonesia dan karya-karya ilmiah yang pernah dirilis olehnya antara lain: “fase Muda” (Juni 1962-April 1983), “fase Pertengahan” (Mei 1983-April 1983),”fase Tua” (Agustus 1993-Desember 1996), dan “fase Pematangan” (sejak Januari 1997-2007).
Hadir dalam diskusi tersebut, Ketua ICMI Korwil Jabar, Sekretaris ICMI Korwil Jabar,dan sejumlah undangan lainnya.
Ganjar menambahkan, Kesejangan antara nilai-nilai yang dianut dengan adab dan karsa bisa juga dianggap sebagai kesenjangan antara keshalehan ritual dan keshalehan sosial. Oleh karena itu, apabila kita ingin memperbaiki adab dan karsa, haruslah dimulai dengan “nilai-nilai” yang akan menjadi pemandu adab-karsa tersebut,” Kita harus berpihak pada pelaksanaan untuk umat, yang terencana dan terorganisir dengan baik termasuk terhadap orang miskin, yang sudah barang tentu dapat meningkatkan kehidupan masyarakat dengan ciri-ciri madani. Maka, Islam sebagai agama yang dijamin kebenarannya olah Allah, tidak merusak citra agamanya oleh umatnya sendiri dan ICMI bisa jadi lokomotif untuk semua gerakan besar meningkatkan adab dan karsa yang berbasis nilai-nilai Islami,” lanjut Ganjar.